Pada zaman dahulu kala, di lereng Gunung Lawu bagian timur, hiduplah sepasang suami istri bernama Kiai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka tinggal di sebuah pondok kecil terbuat dari anyaman bambu beratapkan dedaunan. Mereka hanya tinggal berdua karena selama bertahun-tahun menikah tidak dikaruniai seorang anak pun. Tempat tinggal mereka juga sangat terpencil, sangat jauh dari permukiman warga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, mereka menanam umbi-umbian di sekitar pondok. Sayuran dan buah-buahan didapat dengan mudah di hutan sekitar. Kadang-kadang, Kiai Pasir berburu binatang untuk lauk. Daging binatang dikeringkan sehingga dapat disimpan untuk waktu lama. Kadang-kadang saja, Kiai Pasir pergi ke pasar desa yang terdekat untuk menukar barang yang tidak ada di lereng gunung, seperti garam dan beras. Barang-barang dari gunung yang laku ditukar dengan bahan makanan adalah kayu bakar. Untuk itu, Kiai Pasir rajin mengumpulkan kayu bakar, baik yang berupa ranting-ranting maupun kayu belah.
Pada suatu hari, Kiai Pasir pergi ke hutan untuk menebang pohon. Batangnya akan digunakan untuk mengganti tiang pondoknya yang sudah dimakan rayap, sedangkan rantingrantingnya akan dikeringkan untuk kayu bakar. Pagi-pagi sekali setelah menyantap ubi bakar, ia pamit pada istrinya hendak ke hutan yang agak jauh dari pondoknya. Ia membawa kapak dan air minum di dalam wadah bambu. lstrinya melepas kepergian Kiai Pasir di depan pondok dengan pesan untuk pulang sebelum hari gelap.
Tiba di tengah hutan, Kiai Pasir mencari-cari pohon yang cukup besar dan berbatang lurus supaya kuat dijadikan tiang. Pohon-pohon di hutan itu besar-besar ukurannya. Padahal, Kiai Pasir hendak menebang yang berukuran sedang supaya ia kuat memikulnya pulang ke pondok. Tidak lama kemudian, ia pun menemukan pohon yang sesuai dengan keinginannya. Karena semak belukar di sekitar pohon itu sangat lebat, Kiai Pasir ptm terlebih dahulu membersihkannya agar ia mudah mengayunkan kapaknya ke pangkal pohon. Saat ia sedang menyibak dan membersihkan semak itu, dilihatnya ada sebutir telur berukuran cukup besar tergeletak di atas tumpukan dedaunan seperti sarang. Kiai Pasir teringat istrinya yang tentu akan sangat senang mendapat telur untuk santapan. Apalagi, mereka jarang sekali dapat makan telur. Tanpa berpikir lagi, diambilnya telur itu kemudian dimasukan ke dalam wadah bambu yang sudah kosong.
Ia melanjutkan pekerjaannya membersihkan semak belukar di bawah pohon. Pekerjaan itu memakan waktu yang cukup lama karena semak belukar tumbuh sangat lebat dan tinggi. Matahari sudah mulai bergeser ke barat saat Kiai Pasir hendak mulai mengayunkan kapaknya. Karena takut kemalaman di perjalanan, Kiai Pasir berhenti menebang meskipun pohonnya belum roboh. Ia segera berkemas dan berniat akan melanjutkannya esok hari. Ia berpikir, besok pasti akan lebih mudah dan cepat tumbang pohonnya karena sudah tidak perlu lagi membersihkan semak belukar.
Nyai Pasir sudah menanti dengan cemas di depan pondok karena hari mulai gelap. Alangkah senangnya ketika dilihat Kiai Pasir pulang dengan selamat, apalagi saat suaminya menyerahkan wadah bambu.
“Apa ini?” tanya Nyai Pasir.
“Buka saja, Nyai, nanti kau akan tahu,” jawab Kiai Pasir sambil meletakan kapaknya di sudut luar pondok. ;
“Wooowww, besar sekali telur ini. Kau dapat di mana, Ki?” tanya istrinya girang seraya mengeluarkan telur itu dari wadah bambu.
“Di bawah pohon. Sudah lama kita tidak makan telur,” kata Kiai Pasir dengan wajah gembira pula. Ia membayangkan lezatnya telur itu setelah direbus.
“Sebentar Ki … sepertinya ini bukan telur ayam hutan. Telur ayam hutan tidak akan sebesar ini,” kata Nyai Pasir tiba-tiba menjadi cemas.
“Sudahlah, Nyai … mungkin saja ayam hutannya besar, jadi telurnya juga besar,” kata Kiai Pasir sambil masuk ke dalam pondok.
“Kalau telur ular bagairnana? Induknya pasti akan mencari,” kata Nyai Pasir lagi. •
“Aku tidak melihat ular di sana, Nyai. Itu rezeki kita hari ini. Sudah … sudah tak usah berpikir macam-macam, siapkan saja makananku. Aku sudah lapar.”
“Tidak menunggu kurebuskan telur ini dulu?” tanya Nyai Pasir.
“Telurnya buat sarapan besok saja, untuk menambah tenaga. Besok aku harus melanjutkan menebang pohon,” jawab Kiai Pasir.
Nyai Pasir tidak bertanya lagi. Ia segera masuk ke pondok dan menyalakan perapian untuk menjerang air, menuruti kata suaminya. Kiai Pasir menyalakan dian sebagai penerangan karena di dalam pondoknya sudah gelap. Sambil menunggu aimya mendidih, Nyai Pasir menyiapkan ubi rebus dan sayur di atas meja bambu. Kiai Pasir pergi ke pancuran di belakang pondok untuk membersihkan diri. Tidak lama kemudian Kiai Pasir sudah duduk menghadap meja menunggu Nyai Pasir untuk makan bersama.Keesokan harinya Kiai Pasir bangun lebih pagi karena akan melanjutkan menebang pohon. Saat Kiai Pasir menyiapkan peralatan di samping pondok, Nyai Pasir menghidangkan minuman, ubi rebus, sayur, dan telur rebus.
“Ki, sarapan sudah siap,” kata Nyai Pasir memanggil suarninya.
”Ya, sebentar,” jawab Kiai Pasir.
Kiai Pasir masuk ke dalam pondok dengan wajah gembira karena membayangkan lezatnya telur rebus. Sudah lama mereka tidak menyantap hidangan berprotein itu. Nyai Pasir membelah telur itu menjadi dua; yang satu diberikan kepada Kiai Pasir dan satunya disantap sendiri.
“Hhhmmmm, enak sekali Nyai. Mudah-mudahan tenagaku bertambah hari ini,” kata Kiai Pasir.
“Iya Ki, rasanya lebih lezat dari telur ayam yang pemah kita makan,” kata Nyai Pasir membenarkan suaminya.
Selesai bersantap, Kiai Pasir berangkat ke hutan dengan membawa peralatan seperti biasanya. Nyai Pasir mengantarkan hingga ke halaman pondok. Setelah suaminya tidak tampak, Nyai Pasir kembali ke pondok untuk membereskan peralatan makan dan mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Sementara itu, Kiai Pasir bergegas menyusuri jalan yang telah dilaluinya kemarin karena ingin segera mencapai hutan. Dalam perjalanan itu, Kiai Pasir merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Ia merasa sehat dan segar ketika meninggalkan pondok, tetapi kini badannya terasa panas dan sakit yang tidak terkirakan. Tak kuasa melanjutkan perjalanan, ia pun berhenti dan meletakkan seluruh peralatan yang dibawanya. Sekujur tubuhnya seperti ditarik-tarik, kulitnya bergerak-gerak membentuk tonjolan-tonjolan yang makin lama makin besar dan terasa sangat gatal. Semakin lama rasa gatal itu semakin tidak tertahankan. Ia pun cepat berguling-guling ke tanah dengan harapan rasa gatalnya akan hilang. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Rasa gatal semakin menjadi dan tubuhnya serasa kian membengkak dan memanjang.
“Apa yang tetjadi denganku?” gumam Kiai Pasir.
Tidak lama kemudian tubuhnya sudah berubah menjadi ular naga yang sangat besar. Ular jelmaan Kiai Pasir itu terus berguling-guling di tanah menuju arah pondoknya untuk melihat keadaan Nyai Pasir. Tempat sepanjang ular naga berguling menjadi cekung dan makin lama makin luas.
Tanpa diketahui Kiai Pasir, di pondoknya, Nyai Pasir juga mengalami hal yang sama. Setelah suarninya pergi, Nyai Pasir merasakan tubuhnya sangat panas, sakit, dan gatal-gatal. Karena tidak tahan menahan sakit dan gatal, Nyai Pasir juga rebah dan berguling-guling di tanah. Tubuhnya kian memanjang dan membesar hingga bernbah menjadi ular naga yang sangat besar. Ular naga jelmaan Nyai Pasir itu berguling-guling terus ke luar halaman pondok ke arah perginya Kiai Pasir. Tempat bergulingnya ular naga Nyai Pasir itu juga membentuk cekungan yang kian luas dan dalam.
“Apa yang tetjadi denganku. Apakah suamiku juga berubah?” gumam Nyai Pasir sambil terus berguling.
Nyi Pasir teringat telur yang dibawa pulang suaminya. Dugaannya bahwa telur itu adalah telur ular mungkin benar. Ia merasa menyesal telah memakan telur itu. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Semuanya sudah terjadi dan tidak dapat dikembalikan ke keadaan semula.
Naga jelmaan Kiai Pasir dan Nyai Pasir akhimya bertemu. Mereka berada di tengah-tengah cekungan yang luas bekas mereka berguling. Tak kuasa mereka menahan air mata karena menyesal telah memakan telur yang bukan miliknya. Rasa gatal pun tak kunjung hilang hingga mereka terus berguling-guling menyebabkan cekungan di tengah kian lama kian dalam. Tiba-tiba cekungan terdalam itu menyemburkan air yang sangat deras hingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, cekungan besar dan luas itu penuh terisi air dan menjadi telaga yang sangat besar. Ular naga jelmaan Kiai Pasir dan Nyai Pasir hilang bersamaan dengan berubahnya cekungan itu menjadi telaga.
Penduduk sekitar yang mengetahui peristiwa terbentuknya telaga itu menamainya Telaga Pasir, diambil dari nama Kiai Pasir dan Nyai Pasir. Lambat taut masyarakat menyebutnya dengan Telaga Sarangan karena telaga itu berada di Desa Sarangan.
Sumber : Tulisan Ini Diambil Dari Buku Antologi Cerita Rakyat Jawa Timur, Terbitan Balai Bahasa Surabaya Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2011)
Untuk setiap perjalanan kurang lengkap tanpa sebuah oleh-oleh, untuk oleh-oleh dari sarangan original produk bisa anda dapatkan di toko dibawah ini.
MERCHANDISE DARI TELAGA SARANGAN
ORDER HERE